Kerajaan Kutai
Kartanegara
berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian
Batu atau Kutai
Lama
(kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang
pertama yakni Aji Batara Agung
Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut
dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu
daerah taklukan di negara bagian Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit[1].
Pada
abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan
raja Aji
Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai
Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang
terletak di Muara
Kaman.
Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan
Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan
tersebut.
Pada
abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang
Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu
dipimpin Aji Raja Mahkota
Mulia Alam.
Setelah beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) merupakan
sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami. Dan kemudian
sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura[1].
Menurut
Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai merupakan salah satu
tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja
Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14. Sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena Banjarmasin sudah
memiliki kekuatan militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan
Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menduduki
wilayah Sukadana (1622)[2]. Sebelumnya Banjarmasin merupakan vazal Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548),
Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. Sekitar
tahun 1638 (sebelum perjanjian Bungaya) Sultan Makassar
(Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai tempat berdagang
kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan ketika Kiai Martasura
diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba
Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu Raja Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja
Gowa tahun 1638-1654.[3].
Tahun
1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal
yang sebenarnya dia hanyalah mangkubumi. Pada 1765, VOC Belanda berjanji
membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC Belanda untuk
menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Kutai
berdasarkan perjanjian 20 Oktober 1756.[4], karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di
Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh La
Maddukelleng yang anti VOC. Pangeran Amir, putra mahkota yang sah dibantu Arung
Turawe (kelompok anti VOC) berusaha merebut tahta tetapi mengalami kegagalan.
Pada
13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Alam membuat perjanjian dengan VOC yang
menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan
daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada abad ke-17 pernah
menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC
Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian besar Kalbar) telah diperoleh
VOC dari Sultan
Banten.
Tahun 1809 pemerintah Hindia Belanda meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan
menyerahkan benteng Tatas dan benteng Tabanio kepada Sultan Banjar.
Kemudian wilayah Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah
dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak
1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda
termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kemudian Belanda
memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar[4]. Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda
diwakili Residen Aernout van Boekholzt. Perjanjian berikutnya
pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia
Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda
diwakili Residen Mr. Tobias[4].
Negeri
Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di Kalimantan
menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang
ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4
Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H[4].
Pemindahan ibukota kerajaan
Sultan
Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu
dari Sultan Wajo La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan
Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan
Perwalian[1].
Pada
tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga.
Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan
Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo[1]. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan
Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah
dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota
yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh
kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji
Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad
Muslihuddin.
Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang. Sejak itu dimulailah
perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan
berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh
Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan
ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan
VOC namun tidak dapat dipenuhi[1].
Pada
tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan
dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad
Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai
Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau
Jembayan[1].
Aji
Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad
Muslihuddin
memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan
untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap
telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan
Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini[5].
Pada
tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun
tersebut.
Serangan kapal Inggris
Pada
tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James
Erskine Murray
asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang
ke Kutai untuk berdagang dan meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta
hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk berdagang hanya di
wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas
dengan tawaran Sultan ini. Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray
melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas
oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada
pimpinan Murray akhirnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas. Lima orang
terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri
termasuk di antara yang tewas tersebut[5].
Insiden
pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak
Inggris. Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan balasan terhadap Kutai,
namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bagian dari
wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut
dengan caranya sendiri. Kemudian Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando
t'Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di
Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan Aji Muhammad
Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang
Long
yang bergelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani
bertempur melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai
Kartanegara[5]. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang
tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah dan takluk pada
Belanda.
Sultan Sulaiman bersama putra mahkota dan
para menteri kerajaan.
Pada
tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan
Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia
Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang
Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.[6]
Tahun
1846, H.
von Dewall
menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan[5]. Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849,
wilayah Kesultanan Kutai termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan
Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie,
pada 27 Agustus 1849, No. 8[7]
Pada
tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk
kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda
menempatkan J.
Zwager
sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan A.M.
Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Kutai 100.000 jiwa.[8] Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bagian
dari de zuid- en oosterafdeeling van Borneo.[9] Pada tahun 1863, kerajaan Kutai
Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu
disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan
Hindia Belanda.
Pembukaan tambang batubara pertama
Tahun
1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu
Panggal
oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H.
Menten.
Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran
wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai
Kartanegara menjadi sangat terkenal di masa itu. Royalti atas pengeksloitasian
sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman[5].
Tahun
1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya
Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji
Muhammad Alimuddin.
Pada
tahun 1907, misi Katolik pertama didirikan di Laham, Kutai Barat. Setahun kemudian, wilayah
hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan
Kutai Kartanegara.
Sultan
Alimuddin
hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu
putera mahkota Aji Kaget masih belum dewasa, tampuk
pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipegang oleh Dewan
Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.
Pada
tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan
sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit namun hal ini juga banyak
mengalami kontroversi karena ada beberapa kerabat tidak setuju dengan
pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan
bahwa Aji Pangeran Soemantri 1 lah yang berhak diangkat menjadi Sultan Kutai.
dalam beberapa media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit
dikarenakan ke dua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang
banyak kontroversi dari berbagai pihak.
Sejak
awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil
pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Di tahun-tahun tersebut, kapital
yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui surplus yang dihasilkan tiap
tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana
sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu.
Tahun
1936, Sultan A.M. Parikesit mendirikan istana baru yang megah
dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu
tahun, istana tersebut selesai dibangun.
Kedatangan Jepang
Ketika
Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk
pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo
dengan nama kerajaan Kooti.
Indonesia
merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai Kartanegara
dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam Federasi
Kalimantan Timur
bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan
Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik
Indonesia Serikat.
Daerah
Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah
Istimewa Kutai
yang merupakan daerah otonom/daerah istimewa
tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.
Pada
tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang
"Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah
Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:
- Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong
- Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
- Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda
Pada
tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran
di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai
Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah
swatantra tersebut, yakni:
- A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
- Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
- A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan
Sehari
kemudian, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung
Keraton Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa
Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala
Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo
sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota
Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan
Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berakhir,
dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa[5].
Penghidupan kembali Kesultanan Kutai
Kartanegara
Pada
tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais berniat untuk menghidupkan
kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya
Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu,
dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung
sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam
upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Pada
tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara
bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran
Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud diatas. Presiden
Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara
kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.
Pada
tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan
Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan
menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad
Salehuddin II.
Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada
tanggal 22 September 2001.
Wilayah
Wilayah kekuasaan kesultanan Kutai (berwarna hijau tua).
Pada
masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya
meliputi beberapa wilayah otonom yang ada di propinsi Kalimantan Timur saat
ini, yakni:
- Kabupaten Kutai Kartanegara
- Kabupaten Kutai Barat
- Kabupaten Kutai Timur
- Kota Balikpapan
- Kota Bontang
- Kota Samarinda
- Kecamatan Penajam
Dengan
demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959
adalah seluas 94.700 km2.
Pada
tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah Istimewa Kutai
dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten Kutai,
Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak itu berakhirlah
pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara setelah disahkannya Pemerintah Daerah
Tingkat II Kabupaten Kutai melalui UU No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan
Status Daerah Istimewa Kutai.
Keraton
Kesultanan
Dokumentasi
bentuk istana Sultan Kutai hanya ada pada masa
pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman yang kala itu beribukota
di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman
Mahakam pada abad ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah
berkebangsaan Norwegia yang melakukan ekspedisi
Mahakam pada tahun 1879 sempat membuat ilustrasi pendopo istana Sultan A.M.
Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin dengan
bentuk yang cukup sederhana.
Setelah
Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1899,
Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipimpin oleh Sultan A.M. Alimuddin
(1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami keraton baru yang terletak tak jauh dari
bekas keraton Sultan Sulaiman. Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua
lantai dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Keraton ini dibangun
menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada tahun
1920, keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan.
Pada
tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini dibongkar karena akan
digantikan dengan bangunan beton yang lebih kokoh. Untuk sementara waktu,
Sultan Parikesit beserta keluarga kemudian menempati keraton lama peninggalan
Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton baru ini dilaksanakan oleh HBM (
Hollandsche Beton Maatschappij ) Batavia dengan arsiteknya Estourgie.
Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan istana ini. Setelah fisik
bangunan keraton rampung pada tahun 1937, baru setahun kemudian
yakni pada tahun 1938 keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit
beserta keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah
dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan
telah berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan Sultan Sulaiman
kemudian dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas keraton lama ini telah
diganti dengan sebuah bangunan baru yakni gedung Serapo LPKK.
Setelah
pemerintahan Kesultanan Kutai berakhir pada tahun 1960, bangunan keraton dengan
luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971. Keraton
Kutai kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada
tanggal 25 Nopember 1971. Pada tanggal 18 Februari
1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas keraton Kutai
Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dikelola
menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman. Didalam museum ini disajikan beraneka ragam
koleksi peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara, di antaranya singgasana,
arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan,
koleksi keramik kuno dari China, dan lain-lain.
Dalam
lingkungan keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga kerajaan Kutai
Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini kebanyakan
terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang
diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini di antaranya adalah Sultan
Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin
saja yang tidak dimakamkan di lingkungan keraton, beliau dimakamkan di tanah
miliknya di daerah Gunung
Gandek, Tenggarong.
Pada
tanggal 22 September 2001, putra mahkota H. Aji Pangeran
Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara
dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya kembali Kesultanan
Kutai Kartanegara ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan warisan budaya
Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia agar tak punah dimakan
masa. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah membangun sebuah istana baru
yang disebut Kedaton bagi Sultan Kutai
Kartanegara yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping Masjid
Jami' Aji Amir Hasanuddin ini memiliki konsep rancangan yang mengacu pada bentuk
keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan
Alimuddin.
Gelar kebangsawanan
Dalam
Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang
digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan di depan nama
anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara dikenal
penggunaan gelar sebagai berikut:
- Aji Sultan : digunakan untuk penyebutan nama Sultan bagi kerabat kerajaan.
- Aji Ratu : gelar yang diberikan bagi permaisuri Sultan.
- Aji Pangeran : gelar bagi putera Sultan.
- Aji Puteri : gelar bagi puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
- Aji Raden : gelar yang setingkat diatas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
- Aji Bambang : gelar yang setingkat lebih tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
- Aji : gelar bagi keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.
Jika
pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari
kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang
gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan
bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali
jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).
Jika
wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya
memperoleh gelar sebagai berikut:
- Aji Sayid : gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
- Aji Syarifah : gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
Gelar
Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Artinya
gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden
KERAJAAN
TARUMANEGARA
Wilayah
Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara
dibangun Rajadirajaguru Jayasingawarman taun 358 M. Dheweke merentah ngantek
taun 382 M. Jayasingawarman jane sekang Ceylan (Srilangka siki) India, sing
ngungsi ming Nusantara merga bangsane kalah perang. Makam Rajadirajaguru
Jayasingawarman ana nang sekitar kali Gomatri (siki wilayah Bekasi). Kerajaan
Tarumanegara kiye ialah kelanjutan sekang Kerajaan Salaknegara.
Raja-Raja Tarumanegara
- Rajadirajaguru Jaya Singawarman taun 358 - 382 M
- Dhamayawarman taun 382 - 395 M
- Sri Purnawarman taun 395 - 434 M
- Wisnuwarman taun 434 - 455 M
- Indrawarman taun 455 - 515 M
- Candrawarman taun 515 - 535 M
- Suryawarman taun 535 - 561 M
- Kertawarman taun 561 - 628 M
- Sudhawarman taun 628 - 639 M
- Hariwangsawarman taun 639 - 640 M
- Nagajayawarman taun 640 - 666 M
- Sang Linggawarman taun 666 - 669 M
- Tarusbawa taun 669 - 670 M
Raja Tarumanegara terakhir jane Sang Linggawarman, sebab Prabu Tarusbawa sing nerusna tahta jane mantu Linggawarman. Tarusbawa juga sing ngobah jeneng kerajaan Tarumanegara dadi kerajaan Sunda sekaligus mindahna ibukota kerajaan ming Sundapura. Tarusbawa juga sing menuhi tuntutan Prabu Wretikandayun sing arep misahna kerajaan Galuh (merdeka sekang Tarumanegara).
Dong masa pemerentahan Surayawarman (535 - 561 M), Manikmaya salah siji mantune, mbangun Kerajaan bawahan jenenge Kerajaan Kendan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar